Senin, 28 April 2008

MOU RI-China (Politik Internasional Law)

AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA

AND THE GOVERNMENT OF THE PEOPLE’S REPUBLIC OF CHINA

ON COOPERATION ACTIVITIES IN THE FIELD OF DEFENCE

(TINJAUAN POLITIK HUKUM INTERNASIONAL)

1. Pendahuluan

Pemerintah Indonesia dan Pemerintah China telah sepakat akan mengintensifkan kerjasama pertahanan kedua negara dalam kerangka kemitraan strategis yang telah disepakatinya Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat China tentang Kerjasama Aktivitas dalam Bidang Pertahanan yang telah ditandatangani bersama pada tanggal 7 November 2007 di Beijing China.

Persetujuan kerja sama bidang pertahanan ini merupakan realisasi dari kemitraan strategis antara dua negara, yang ditandatangani kepala pemerintahan masing-masing pada 25 April 2005 di Jakarta, saat Presiden RRC Hu Jintao berkunjung ke Indonesia. Komitmen kedua negara untuk merealisasikan kemitraan strategis itu diperkuat dengan kunjungan balasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Beijing pada 2006.

Selama ini, Indonesia dan Cina telah menjalin kerja sama bidang pertahanan dan militer di bidang pendidikan dan latihan dan pertukaran kunjungan pejabat militer antar kedua negara, namun belum ada payung hukumnya, sehingga dengan telah ditandatanganinya persetujuan pada tanggal 7 November 2007 tersebut, secara nyata telah terpenuhi prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dalam hubungan internasional, dimana kedua Negara harus merasa terikat untuk mentaatinya, sesuai dengan isi yang telah disepakati.

Secara umum isi dalam Persetujuan bersama tersebut kecuali berisikan hal-hal yang selama ini telah dilaksanakan, yaitu dibidang pendidikan dan latihan serta pertukaran kunjungan pejabat militer, juga berisikan kesepakatan kerja sama industri pertahanan, latihan bersama, produksi bersama, alih teknologi, pertukaran informasi intelijen serta kerja sama dalam bidang teknologi, dan ilmu pengetahuan .

Untuk mengetahui kedalaman Persetujuan tersebut, akan dikaji melalui tinjauan politik hukum internasional, dengan dengan sudut pandang “kaum realis” khususnya dari prespektif Realis dari Sir Arthur Watts, yang berpendapat bahwa :

a. Hukum internasional sangat kental diwarnai aspek politik (aspek politik)

b. Aktor utama hukum internasional adalah negara yg punya sovereignty, terjadi baik pada tahap pembentukan, praktek maupun proses perubahan hukum internasional (aktor utama)

c. Mencerminkan tarik-menarik kepentingan antara negara-negara (tahap pembentukan)

d. Sisi positif hukum internasional bagi pergaulan antar negara cukup besar; sehingga kelemahan-kelemahan diatas bukan ukuran hukum internasional yang tidak efektif. (Tarik menarik kepentingan negara)

­­­

2. Pembahasan

Kecenderungan perkembangan lingkungan strategis memberikan indikator adanya tantangan berat bagi pemerintah khususnya bagi tugas TNI ke depan yang semakin komplek . Kecenderungan yang cepat berubah diseluruh aspek kehidupan ini menimbulkan pola kebijakan Negara-negara maju terhadap Negara berkembang seperti Indonesia akan selalu dikaitkan dengan isu-isu dalam penerapan demokratisasi, HAM, lingkungan hidup dan terorisme, yang salah satu keterkaitannya dengan isu tersebut adalah adanya embargo oleh Amerika Serikat terhadap Alutsista TNI. Sementara itu kondisi politik, ekonomi, kesejahteraan dan keamanan Indonesia saat ini masih belum menggembirakan, sehingga perlu adanya terobosan-terobasan kebijakan dalam upaya meminimalisasi kondisi tersebut, yang antara lain melalui kerjasama bidang pertahanan dengan Pemerintah China.

a. Aspek Politik

Persetujuan antara RI dan China tersebut, merupakan pilihan yang rasional dalam menjawab salah satu masalah-masalah yang sedang dihadapi pemerintah Indonesia khususnya yang dihadapi oleh TNI . Pembuatan persetujuan ini dilatar belakangi dan diwarnai oleh aspek politik, yang salah satunya adalah pemberlakuan embargo AS setelah kejadian Santa Cruz, penembakan di Wamena ataupun kejadian terakhir yaitu penembakan oleh oknum Marinir di Grati, Pasuruan tanggal 30 Mei 2007, sepertinya kejadian tersebut berkembang menjadi bola liar dan penuh dengan aroma politik. Salah satu bola liar tersebut adalah desakan dari beberapa LSM internasional agar AS meninjau kembali kerja sama pertahanan dengan Indonesia, bola itu bersambut dengan ancaman beberapa anggota Kongres AS yang akan mengajukan pembatasan kerja sama pertahanan AS-Indonesia pada tahun anggaran 2008. Bagi banyak pihak, termasuk di dalam negeri, kerjasama pertahanan Indonesia-AS seringkali diterjemahkan sebatas pengadaan peralatan utama sistem kesenjataan (Alutsista). Penerjemahan tersebut tidak keliru, namun terlalu sempit karena seolah-olah hanya Indonesia yang membutuhkan AS dan sebaliknya AS tak memerlukan negeri ini.[1] Untuk menghindari keterpurukan Alutsista TNI dan atas rencana embargo yang akan diberlakukan kembali terhadap Indonesia yang sangat diwarnai aspek politik ini, maka sangat tepat apabila Indonesia segera melakukan bekerjasama bidang pertahanan dengan pemerintah China.

b. Aktor Utama

Sebagaimana yang termuat dalam judul persetujuan kedua Negara ini yaitu: “ Agreement Between The Government Of Republic of Indonesia and The Government of People’s Republic of China dan telah ditandatangani oleh atas nama Pemerintah Republik Indonesi, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan atas nama Pemerintah Republic Rakyat China, Jendral Cao Gangchuan[2] adalah suatu perjanjian internasional yang dilakukukan oleh dua Negara/ Pemerintahan yang sah yang mempunyai kedaulatan penuh, sebagai aktor yang melaksanakan perjanjian sebagaimana pendapat kaum Realis .

c. Tahap pembentukan, praktek maupun proses perubahan hukum internasional

Dalam tahap pembentukan, sebagaimana yang tertuang dalam pendahuluan bahwa Persetujuan ini sebagai persetujuan kerja sama bidang pertahanan yang merupakan realisasi dari kemitraan strategis dan telah ditandatangani oleh kedua kepala pemerintahan pada 25 April 2005 di Jakarta, saat Presiden RRC Hu Jintao berkunjung ke Indonesia, dengan demikian proses pembentukannyapun dilakukan oleh Negara yang mempunyai kedaulatan.

Praktek maupun pelaksanaan ini, walaupun persetujuan ini belum diratifikasi oleh kedua Negara, namun masing-masing institusi Angkatan Bersenjata telah merencanakan program untuk tahun anggaran 2007-2008 , yang antara lain bahwa: Pemerintah China menawarkan 21 jenis pendidikan dan latihan dan kursus untuk 23 orang perwira Indonesia serta dua orang perwira setingkat kolonel untuk mengikuti seminar "ASEAN Armed Forces International Disaster Relief" di Cina., demikian juga Indonesia menawarkan kepada pemerintah China untuk mengirimkan Perwiranya berpangkat Mayor/Letkol untuk mengikuti pendidikan Seko Angkatan, dan yang berpangkat Kolonel untuk mengikuti pendidikan Sesko TNI.[3]

Untuk proses perubahan persetujuan ini yang berbunyi : “Persetujuan ini dapat diubah setiap saat, dalam bentuk protocol, melalui kesepakatan bersama secara tertulis Para Pihak”[4], yang dimaksud para pihak disini adalah Pemerintah RI dan China, yaitu pemerintahan yang mempunyai kedaulatan penuh.

d. Tarik menarik kepentingan Negara

Memang betul bahwa sebagian besar alutsista TNI berasal dari AS atau ada komponen buatan negeri itu di dalamnya. Pemberlakuan embargo oleh AS terhadap Indonesia memang telah mengurangi kesiapan operasional alutsista pertahanan. Ketika Menteri Luar Negeri AS Condolezza Rice pada November 2005 memberi isyarat untuk kembali menjalin kerja sama pertahanan dengan Indonesia, ada pihak di Indonesia yang cukup puas. Sikap tersebut kemudian diterjemahkan dalam bentuk kebijakan pertahanan dengan (rencana) melanjutkan pengadaan suku cadang alutsista asal AS, khususnya pesawat udara. Saat itu bahkan ada pemikiran untuk menambah pesawat tempur buatan AS sebagi aset TNI-AU.

Pasar Senjata di Asia Tenggara meskipun secara resmi AS telah mencabut embargo senjata terhadap Indonesia, Washington sempat menghambat pengadaan rudal anti kapal permukaan Exocet MM-40 yang dipesan oleh TNI-AL untuk dipasang pada korvet kelas Diponegoro (Sigma). Alasan resminya bahwa di dalam rudal produk MBDA Prancis itu terdapat komponen chip buatan AS. Di balik alasan tersebut, sebenarnya ada dua alasan utama mengapa negeri itu menghambat pengadaan rudal Exocet MM-40 bagi Indonesia, karena AS tak ingin ada kekuatan laut manapun di dunia yang mampu mempermalukan dirinya, dan AS tak rela Prancis menggerogoti pangsa pasar senjatanya di Asia Tenggara.[5] Hal ini mencerminkan adanya tarik menarik kepentingan antar Negara Amerika dan Perancis, disamping itu juga, sebagaimana pandangan geopolitik China yang menyebutkan bahwa “ The Peaceful Rising of China” atau dalam geostrategic China yang menyebutkan bahwa : “Serching for Regional Stability and Influence”[6], menggambarkan bahwa China menginginkan Stabilitas Regional tanpa pengaruh kekuatan Negara lain, hal ini juga menggambarkan sebagi ada tarik menarik pengaruh dalam regional ini khususnya Amerika Serikat dan China.

1) Sisi Positif Hukum Internasional bagi pergaulan antar Negara..

Terkait dengan ancaman beberapa anggota Kongres Amerika Serikat untuk membatasi kerja sama pertahanan dengan Indonesia mulai tahun anggaran 2008, ada baiknya bila kita hitung untung ruginya bagi kedua negara. Bagi Indonesia, kerugian yang sudah pasti adalah terancamnya kesiapan operasional TNI, khususnya matra TNI yang alutsistanya sangat tergantung pada Amerika Serikat. Berbeda dengan AL dan AD, AU kita lebih dari 90 persen alutsistanya, khususnya pesawat udara, merupakan produk Amerika Serikat. Sementara itu, keuntungan dari pembatasan kerja sama pertahanan dengan Indonesia adalah memaksa sebagian para penentu dan pelaksana kebijakan pertahanan yang selama ini sangat US product minded untuk tetap beralih pada produk lain. Di masa lalu, hal itu berhasil, yang mana Indonesia mulai melirik produk dari negara eks Blok Timur (Pakta Warsawa), misalnya Rusia. Contoh paling nyata dapat dilihat pada kekuatan udara Indonesia yang selama puluhan tahun sangat tergantung pada produk AS. Namun kebijakan beralih ke Timur terkadang tidak dilaksanakan secara konsisten, karena ”Timur” dalam pemahaman sebagian pihak adalah eks anggota Pakta Warsawa. Padahal tidak sedikit eks anggota pakta tersebut yang kini justru menjadi anggota NATO dan merupakan pendukung kuat kebijakan AS dalam perang terhadap terorisme, sehingga ada beberapa program pengadaan alutsista pertahanan yang berasal dari beberapa negara eks Pakta Warsawa yang sudah menjadi anggota NATO. Artinya, negara-negara itu akan mengikuti pesan dari Washington menyangkut kebijakan penjualan senjatanya kepada Indonesia.

Jikalau Kongres AS membatasi kerjasama pertahanan dengan Indonesia, kerugian AS yang tak perlu dipertanyakan adalah terkait dengan upaya membendung China. AS membutuhkan kerja sama dari Indonesia guna membendung China, karena sudah menjadi kebijakan keamanan nasional AS untuk tidak membiarkan negara mana pun muncul menjadi pesaingnya (peer competitor). Namun belum semua negara di kawasan Asia mampu dipengaruhi oleh AS untuk berada di belakangnya menghadapi China, termasuk Indonesia yang mempunyai empat chokepoints (perlintasan perairan/selat yang vital – kita namakan ALKI, alur laut kepulauan Indonesia).

China memandang kawasan Asia Tenggara merupakan simpul terlemah dalam rantai yang dipasang oleh AS untuk membendungnya dan titik di mana China dapat men-dobrak dan mengalahkan upaya pembendungan itu. Pertanyaannya, maukah AS mengorbankan kepentingannya yang jauh lebih besar (membendung China) hanya demi isu HAM di Indonesia? Perlu diingat, dalam KTT Keamanan Asia yang lebih dikenal sebagai The Shangrila Dialogue di Singapura pada awal Juni 2007, Menteri Pertahanan RI Juwono Sudarsono meminta China (selain Jepang dan Korea Selatan) untuk turut mengamankan Selat Malaka. AS cukup terkejut dengan permintaan Indonesia tersebut, karena baginya Selat Malaka adalah salah satu tempat untuk mengendalikan pergerakan armada niaga dari dan ke China, termasuk pasokan energi. Dengan asumsi bahwa AS pada akhirnya membatasi kerja sama pertahanan dengan Indonesia, maka secara tidak langsung telah membukakan pintu yang lebih lebar bagi China untuk meningkatkan kerja sama keamanan dengan Indonesia, termasuk di Selat Malaka.

Sebagai informasi, China sejak tahun lalu telah menawarkan bantuan pemasangan radar maritim kepada Indonesia di Selat Malaka, padahal, saat ini Indonesia juga tengah merampungkan pemasangan radar maritim bantuan AS di perairan yang sama. Menurut rencana, jaringan radar maritim Indonesia akan memanjang dari Pulau Weh (Sabang) hingga Pulau Batam. Tanpa disadari oleh banyak pihak di Indonesia, termasuk pada tingkat pengambilan keputusan, negeri kita sebenarnya punya daya tawar yang bisa digunakan untuk berhadapan dengan AS. Adalah hak Kongres AS untuk membatasi kerjasama pertahanan dengan Indonesia, namun Indonesia hendaknya menjadikan daya tawar yang dipunyai untuk melobi Kongres dan pemerintah AS. Sangatlah pantas bila Indonesia menyatakan kepada mereka, “apakah anda akan membiarkan Indonesia jatuh dalam pengaruh China dengan membatasi kerja sama pertahanan?”[7]

Bila kita kaji dari perebutan pengaruh diatas, maka ada segi positif yang dapat diambil dari persetujuan RI-China tersebut, yaitu ternyata Indonesia mempunyai daya tawar tersendiri dalam pergaulan internasional, khususnya pengaruh antara Amerika Serikat dan China, sehingga apabila Indonesia diembargo kembali , Amerika akan berfikir dua kali karena ada China yang saat ini sedang tumbuh kuat,sementara itu Indonesia masih dibutuhkan Amerika untuk menjaga Stabilitas kawasan ASEAN.

2) Arti Penting Indonesia bagi China

a) Indonesia telah sejak lama berpegang pada “one-China policy “. Status satu China di dunia internasional adalah hal yang sangat vital dalam membina hubungan baik dengan negeri tirai bambu, sebab jika ada negara yang mengakui kedaulatan Taiwan sebagai “China” yang lain, sudah pasti Beijing akan berlaku sangat tidak bersahabat padanya. Dengan kondisi China yang sekarang, sangat tidak menguntungkan jika Indonesia sampai merusak hubungan baik hanya karena kebijakan yang salah

b) Indonesia memiliki apa yang dibutuhkan China, yaitu :

(1) Suplai energi yaitu: minyak, gas alam, batubara, mineral, kayu olahan, dll. untuk kelangsungan industrinya dalam jangka panjang.

(2) Pangsa pasar yang amat potensial bagi produk-produk industri sedang dan kecil China seperti mobil, sepeda /sepeda motor, tekstil/garmen, obat-obatan.

(3) Pangsa pasar yang cukup besar dimasa depan bagi produk pertahanan seperti pesawat angkut/pesawat tempur, kapal perang, kapal selam, kendaraan angkut pasukan, peluru kendali jarak pendek dan menengah, perlengkapan pasukan lainnya.

(4) Warganegara RI etnis China yang mendominasi perekonomian nasional Indonesia bisa diajak untuk berinvestasi di tanah leluhurnya.

c) Dari industri pertahanan, Indonesia bisa dilihat cukup berpengalaman dalam pengembangan teknologi militer yang cukup up to date, ditandai dengan beragamnya produk militer dan pertahanan yang dipamerkan Indonesia dalam beberapa pameran, expo tahun-tahun terakhir, seperti dari PT PAL, PT DI dan PT PINDAD, sehingga China menganggap Indonesia cukup kompeten untuk diajak bekerjasama dalam pengembangan industri militer canggih dimasa depan.

3) Arti Penting China bagi Indonesia

a) China sekarang adalah kekuatan ekonomi dan politik yang potensial untuk dijadikan jalan tengah bila mengalami kebuntuan dengan kekuatan global Amerika atau Uni Eropa. Dengan pertumbuhan ekonominya yang memukau, China membutuhkan negara kaya sumber alam seperti Indonesia untuk mensuplai kebutuhan energinya, dan bagi Indonesia ini adalah peluang sumber devisa yang amat potensial bagi pembangunan nasional. Dengan menggenggam China, tak perlu lagi kita berjalan tertatih karena ditinggalkan Amerika/ Eropa.

b) Industri pertahanan China sudah semakin maju menyamai teknologi barat dengan ditandainya keberhasilan pengiriman astronot, keberhasilan pengujian penembakan rudal anti satelit (ASAT), serta tidak bisa diabaikan adalah kepemilikan kemampuan senjata nuklir sebagai “deterrence power “ yang telah dimiliki sejak puluhan tahun silam.

c) Angkatan Bersenjata China sekarang sudah jauh berbeda dari dua decade yang lalu, dimana sekarang telah memutakhirkan perlengkapan dan peralatan serta pelatihan pada personel-personelnya, antara lain dengan pengembangan industri jet tempur lokal, kapal perang dan kapal selam ber peluru kendali anti kapal permukaan, serta memproduksi sendiri kendaraan tempur di darat seperti tank, panser dan senjata perorangan. Semua pengembangan teknologi ini mengadopsi teknologi dari Amerika, Russia, Perancis dan bahkan dari Israel sehingga dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya.

d) Konsep pertahanan China sekarang menganut pola strategy “defensif-aktif” yang artinya militer China tidak akan berdiam diri di daratan menunggu musuh masuk, melainkan akan mencegat musuh yang datang jauh sebelum masuk wilayah territorialnya. Untuk itu kedepannya AL China sedang mengembangkan pola “blue water-navy” yang didukung oleh armada kapal induk, pesawat tempur, pesawat tanker, dan pesawat radar terbang/AWACS, serta di daratannya terpasang system pertahanan darat-udara jarak jauh dari Russia dengan jangkauan mencapai 300 kilometer. Benteng terakhir adalah kekuatan pertahanan di daratan utama yang menggunakan system yang sama dengan kita yaitu mengikutsertakan seluruh komponen rakyat untuk bela negara. Dengan kemiripan dan kesamaan pola pertahanan yang ada, maka amat tepat jika kita bisa belajar pada China bagaimana mereka berhasil memajukan angkatan bersenjatanya dengan tetap bercirikan khas negeri mereka sendiri, suatu hal yang mulai luntur di budaya kita baik kalangan sipil maupun militer, serba kebarat-baratan dan merasa hebat jika bergaya aktor perang ala film Hollywood.


3. Penutup


China telah memiliki pengaruh yang sangat kuat di kawasan Asia Pasifik, bahkan telah menjadi “ancaman” bagi Amerika. Meskipun para petinggi Partai Komunis China selalu mengatakan bahwa Beijing tidak pernah berusaha menyaingi Amerika karena merasa tidak akan mampu, namun pada kenyataannya kehadiran China dimana-mana tersebut justru telah membuka peluang bagi negara-negara berkembang untuk memiliki payung cadangan atau jalur alternatif jika memiliki masalah dengan Amerika.

Kemampuan industri militer China juga telah sangat maju ditandai dengan produk-produk militer lokal seperti pesawat tempur/transport, tank, kapal perang, dan senjata perorangan. China bahkan telah mampu menciptakan dan mengoperasikan peluru kendali anti satelit (ASAT) yang diperkirakan banyak analyst barat akan digunakan jika sewaktu-waktu pecah konflik terbuka dengan Amerika.

Kedua Negara telah membuat payung hukum kerjasama, sehingga prinsip dan kaidah hukum dalam hubungan internasional telah terpenuhi. Ke depan tentunya akan ada tindak lanjut berupa pola dialog, pola seminar yang intinya kedua negara sepakat melaksanakan kegiatan bidang pertahanan, juga dimungkinkan adanya pembelian senjata yang masuk dalam bidang kerjasama bidang teknologi.

Dibukanya kembali kersajama bidang pertahanan dengan China merupakan terobosan kebijakan untuk meminimalisasi kondisi yang belum menggembirakan di tanah air seperti kondisi politik, ekonomi, kesejahteraan dan keamanan.



[1]. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0706/22/opi01.html

[2] Article X, Entry Into Force, Validity and Termination, Agreement Between The Government of The Republic Of Indonesia and The Government of People’s Republic of China.

[4] Sub Article 1, Article IX, Amendment, Agreement Between The Government of The Republic Of Indonesia and The Government of People’s Republic of China.

[5] http://www.sinarharapan.co.id/berita/0706/22/opi01.html

[6]. Bahan Ceramah Dirjen Strahan Dephan RI, pada Pertemuan Pok Ahli, di Bandung tanggal 6-7 Juli 2006

[7] http://www.sinarharapan.co.id/berita/0706/22/opi01.html

Tidak ada komentar: