Senin, 28 April 2008

NASIONALISME

JUDUL : PERSOALAN DISINTEGRASI MORAL MASYARAKAT DAN NASIONALISME


PENDAHULUAN

Falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia adalah Pancasila, yang mengandung nilai-nilai (moral dan etika) bangsa, karena sumbernya digali dari nilai-nilai luhur budaya bangsa yang terus dipelihara dan dilestarikan keberadaannya. Suatu perubahan nilai yang terjadi di dalam masyarakat tidak terlepas dari adanya kecenderungan perubahan struktur masyarakat itu sendiri. Prosesnya antara lain disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi, baik yang terjadi di dalam negeri maupun pengaruh global. Manusia hidup dengan sistem nilai yang berakar dari kebudayaan. Diantara berbagai sistem konfigurasi nilai yang ada di masyarakat terdapat nilai moral, yaitu menerangkan apa yang baik bagi manusia. Moral dikatakan sebagai rasa kesadaran tentang kewajiban untuk berbuat baik dan menghindari yang buruk. Dengan perkataan lain, moral merupakan bisikan hati nurani agar selalu mengacu kepada hal-hal yang baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat sekelilingnya. Selanjutnya, moral selalu konkrit. Sedangkan refleksi tentang moral disebut dengan etika, sehingga etika disebut juga sebagai proses filsafat tentang moral yang merupakan pemikiran kritis rasional tentang nilai-nilai moral.

Dalam pembangunan nasional, moral merupakan lapisan benteng terakhir yang melindungi kepribadian suatu masyarakat dan integritas bangsa. Nilai moral yang ada pada masyarakat juga sebagai penyelamat bangsa dalam menghadapi proses modernisasi. Sebagai falsafah bangsa, Pancasila merupakan sumber nilai moral masyarakat Indonesia. Asas negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, berbudi pekerti dan asas kemanusiaan yang luhur merupakan landasan moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, orientasinya selalu mengacu kepada nilai-nilai moral, bukan kekuasaan. Dengan demikian, maka moral dan etika kebangsaan dapat diartikan sebagai pola pikir, pola sikap dan pola tindak seseorang yang positif dan mulia, yang bersumber dari nilai-nilai luhur Pancasila yang telah mengkristal dan diterima oleh masyarakat. Dengan demikian, bila dikaitkan dengan faham kebangsaan, maka moralnya adalah persatuan dan kesatuan sedangkan etika kebangsaan adalah musyawarah untuk mufakat.

Dalam bangsa itu tumbuh dan berkembang etika kebangsaan, yakni prinsip-prinsip dasar dari nilai moral yang membimbing bangsa dalam langkah dan tindakannya. Ia manumbuhkan dalam diri manusia dan masyarakat Indonesia sikap peduli pada bangsanya dan melahirkan suatu komitmen pada bangsa. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila dijabarkan lebih lanjut dan dijadikan ukuran serta tuntutan sikap, perilaku dan gaya hidup bangsa Indonesia dalam segenap aspek kehidupan. Dikaitkan dengan proses pembangunan yang tengah berjalan, maka hakekat moral yaitu nilai-nilai dasarnya adalah tetap, namun aktualisasinya sebagai nilai praksis dapat mengalami perubahan dan penyesuaian tanpa menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Secara umum moral dan etika kebangsaan dapat dilihat dari sumber, nilai serta kualitasnya.

PEMBAHASAN

Menjalani 62 tahun usia kemerdekaan bangsa Indonesia masih bergelut dengan berbagai persoalan yang bermuara pada krisis moral dan ketimpangan sosial. Bangsa yang berbobot adalah bangsa yang mampu mempertahankan kepribadian serta sanggup mengevaluasi nila-nilai luhur warisan nenek moyangnya untuk dilestarikan dan dikembangkan selaras dengan proses kemajuan zaman yang selanjutnya dipersiapkan sebagai bekal hidup bagi generasi penerus dalam mempertahankan eksistensi dan martabat bangsanya.

Krisis budaya menghantui bangsa kita, kesenjangan antara kesadaran dan perilaku. Akhir-akhir ini kita melihat bahwa kesadaran kemanusiaan mengalami penurunan. Konformisme pada perilaku kolektif mendominasi kehidupan sehari-hari. Kekerasan, kebrutalan dan sadisme terus terjadi, sepertinya kita tak kuasa menghentikannya. Seolah-olah bangsa ini sedang melakukan orgi dengan agresivitas (agressiviteit, aggressiveness) sebagai bahan baku. Kita sedang sibuk dengan melukai diri sendiri, upacara menuju penghancuran kemanusiaan. Kita percaya bahwa waktu akan menyembuhkan luka-luka. Akan tetapi kitapun harus berbuat sesuatu agar penyembuhan itu benar-benar terjadi.

Pada pertengahan Mei 1998 terjadi huru-hara dimana-mana, mobil dibakar, rumah dilempari batu, toko dirusak, perempuan diperkosa, sarana umum dipreteli. Mahasiswa melakukan agresi dengan menduduki gedung MPR/DPR dan berhasil merontokkan Orde Baru yang sangat agresif pada tanggal 21 Mei 1998. Reformasi berubah jadi kata sakti yang membakar daerah-daerah dan menyulut kelompok-kelompok sosial. Ketakutan beruah jadi keberanian, malu-malu jadi terang-terangan. Tetapi demonstrasi berjalan terus, di pusat dan di daerah, seperti tak habis-habisnya. Penjarahan dan pencurian beramai-ramai terjadi.

Orde baru dengan kekuasaan yang kuat berhasil mencengkeram selama 32 tahun luluh-lantak oleh demonstrasi mahasiswa yang agresif. Angresifitas meruntuhkan baik realitas maupun mitos. Apakah sejarah menjadi terang benderang? Ternyata tidak. Sesudah itu rupanya orang terbiasa mendengar, melihat dan melakukan agresivitas dengan tanpa disadari.

Mahasiswa belajar tentang betapa efektifnya demonstrasi, orasi dan agresivitas. Agresivitas pernah membawa berkah. Akan tetapi, agresivitas rupaya tidak bisa dihentikan begitu tugas selesai. Di Yogyakarta pada Senin sore tanggal 26 Oktober 1998 terjadi tawuran massal antar mahasiswa dengan korban 31 orang luka-luka di stadion Mandala Krida (Kedaulatan Rakyat (KR), 27-10-1998). Tawuran ini terjadi dalam turnamen piala Janabadra Cup VII antara para suporter sepakbola mahasiswa UII (Universitas Islam Indonesia) dan UJB (Universitas Janabadra), dua kampus yang berperan besar dalam reformasi. Ironisnya ialah bahwa peristiwa itu melibatkan mahasiswa, segmen masyarakat yang paling terdidik, yang beberapa bulan sebelumnya berhasil menumbangkan sebuah rezim otoriter. Lebih mengerikan lagi apa yang terjadi di lingkungan masyarakat yang kurang pendidikan seminggu sebelumnya di pedesaan Malang. KR Selasa 20 Oktober 1998 menulis, ”massa semakin tak terkendali, kepala tersangka ”ninja” yang sudah dipenggal, ditusuk dengan bambu dan diarak keliling. Peristiwa itu terjadi di Malang, Indonesia tidak pada zaman dulu tapi baru-baru ini. TV swasta SCTV tanggal 5 November 1998 memberitakan bahwa sebuah SMP di Kendal, Jateng dirusak masa karena kepala sekolahnya baru saja memenangkan pilkades, massa kepala sekolah kemudian ganti mengamuk. KR Minggu 8 November 1998, memberitakan tentang kerusuhan massa di Demak, Pemalang dan Slawi, Jateng. Koran-koran pusat dan daerah pada tanggal 11 November 1998 semuanya memberitakan adanya bentrok massal antara kelompok pro dengan kontra sidang istimewa MPR, dan antara mahasiswa dengan pengamanan swakarsa pada hari pertama SI. Selanjutnya semua media elektronik dan cetak memberitakan adanya bentrok antara mahasiswa, aparat keamanan, Pam Swakarsa dan massa pada hari-hari sekitar SI MPR di Jakarta, tanggal 10-13 November 1998. Korban agresivitas yang memuncak dalam Tragedi Semanggi itu ialah sedikitnya 13 orang meninggal, ratusan luka-luka, dan sejumlah toko dan kendaraan dibakar. Di kota dan di desa massa menjadi penguasa baru.

Pasti ada yang salah dengan kebudayaan kita. Kesenjangan antara kesadaran dan perilaku yang sebenarnya sudah berlangsung lama. Karena itu tidak mengherankan kalau sekarang agresivitas menjadi pemandangan sehari-hari.

Norma hukum akan menata segala usaha dan kegiatan pembangungan secara tertib dan teratur sehingga mampu menciptakan sinergisme dari seluruh putusan yang ada. Norma hukum akan menjamin terjadinya kordinasi, integrasi dan sinkronisasi serta simplikasi dari seluruh perilaku pembangunan. Norma hukum akan menghasilkan kepastian, rasa keadilan, keamanan, ketenagan akan menjadi penasehat persatuan dan kesatuan yang menghasilkan sinergisme dari segala usaha dan kegiatan pembangunan.

Bagi bangsa Indonesia yang memiliki falsafah Pancasila, peningkatan mutu manusia, tidak semata-mata berwujud pada tingkat pendidikan dan keterampilan saja, tetapi juga mencakup moral dan etika kebangsaan, ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta tetap mempertahankan kepribadian Indonesia. Oleh karena itu kualitas moral dan etika kebangsaan adalah juga merupakan sifat-sifat kepribadian bangsa Indonesia yang berkaitan erat dengan perubahan-perubahan nilai.

Sifat-sifat kepribadian bangsa Indonesia dicerminkan antara lain dengan tingkat kebudayaan Nasional, integritas nasional dan identitas nasional. Oleh karena itu kualitas moral dan etika kebangsaan ukurannya adalah sejauh mana nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila diwujudkan sebagai ukuran tuntutan hidup, tingkah laku dan perbuatan bagi bangsa dan negara Indonesia telah mencapai landasan, semangat dan jiwa yang secara khas merupakan ciri pada elemen-elemen sosial, budaya bangsa dan negara Indonesia.

Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila dijabarkan lebih lanjut dan dijadikan ukuran tuntutan sikap, perilaku dan gaya hidup bangsa Indonesia dalam segala aspek kehidupan. Nilai-nilai kebudayaan nasional harus berkembang sejalan dengan proses pertumbuhan dan kemajuan dengan tetap berpijak pada kepribadian bangsa.

Integritas Nasional, Bangsa Indonesia yang majemuk adalah merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Integritas nasional harus lahir dari tujuan nasional yang berlandaskan pada falsafah idiologi Pancasila dan dari keanekaragaman realitas sosial sesuai dengan konsepsi Bhinneka Tungal Ika yang mengandung persatuan dan kesatuan.

Identitas Nasional atau kepribadian nasional adalah ekspresi dinamis tentang tujuan dan tekad hidup bangsa. Sikap perilaku dan gaya hidup bangsa Indonesia dengan segenap warganya merupakan kepribadian yang diekspresikan, baik dalam bentuk sistem nilai yang dianutnya maupun dalam tingkah laku lahiriah. Sifat-sifat kepribadian bangsa Indonesia yang berkaitan erat dengan perubahan-perubahan nilai, menurut orientasi Pancasila adalah bersifat religius, kekeluargaan, kerakyatan serta selaras, serasi dan seimbang.

Implementasi Moral dan etika masyarakat Indonesia tercermin dalam kondisi umum yang telah dicapai dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, serta tantangan yang masih harus dihadapi dalam menjalani Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahap I Tahun 2005-2009. Adapun kondisi umum dapat diuraikan menjadi dua bagian, sebagai berikut :

a. Hasil-hasil yang telah dicapai, antara lain:

1) Telah berhasil diciptakan kerangka landasan yang cukup kuat untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri, baik di bidang ekonomi, politik, sosial budaya maupun di bidang pertahanan keamanan.

2) Di bidang ekonomi telah dapat terpenuhinya kebutuhan pokok seluruh rakyat dan diciptakan struktur ekonomi yang lebih seimbang, penguatan dan pendalaman struktur industri akan terus dimantapkan bersamaan dengan usaha peningkatan diversifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi pertanian dan pengembangan agroindustri serta agrobisnis yang makin tangguh.

3) Di bidang politik, pembaharuan kehidupan politik telah makin memantapkan kesepakatan politik untuk menegaskan kembali dan menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Penerapan politik luar negeri bebas aktif secara konsekuen telah semakin meningkatkan citra, wibawa, kedudukan dan peranan Indonesia dalam ikut serta menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia yang abadi, adil dan sejahtera.

4) Dalam kehidupan sosial budaya, kualitas sumber daya manusia telah makin meningkat dan keserasian, keselarasan serta keseimbangan kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia baik lahir maupun batin makin berkembang. Disamping itu, melembaganya budaya dan semangat membangun serta makin mantapnya semangat kebangsaan yang berwawasan nusantara. Upaya pembangunan kependudukan telah berhasil menekan pertumbuhan penduduk dan menaikkan usia harapan hidup.

5) Di bidang pertahanan dan keamanan telah diwujudkan pengamanan perjuangan nasional, termasuk pengamanan pelaksanaan pembangunan berkat mantapnya kemampuan bangsa dalam memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis serta makin meningkatnya ketahanan nasional.

b. Tantangan yang harus dihadapi, antara lain:

1) Globalisasi yang didorong kemajuan pesat di bidang teknologi dapat mempengaruhi stabilitas nasional dan ketahanan nasional yang pada gilirannya akan berdampak pada pelaksanaan pembangunan nasional di masa mendatang. Di bidang ekonomi, selain makin kuatnya persaingan di pasaran internasional adalah munculnya pengelompokan antar negara yang cenderung meningkatkan proteksionisme dan diskriminasi pasar yang dapat menghambat pemasaran hasil produksi dalam negeri dan mendorong persaingan yang kurang sehat. Di bidang politik dan pertahanan keamanan, kemungkinan timbulnya rongrongan terhadap Pancasila, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, khususnya persatuan dan kesatuan bangsa. Di bidang sosial budaya, masuknya nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai luhur budaya bangsa.

2) Masih adanya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang menuntut usaha yang sungguh-sungguh untuk mengatasinya agar tidak berkelanjutan dan berkembang ke arah keangkuhan dan kecemburuan sosial. Selain itu, upaya untuk mencegah terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi dalam berbagai bentuk monopoli dan praktek lainnya yang merugikan masyarakat. Pembangunan yang semakin meningkat memerlukan biaya yang makin meningkat pula yang tidak dapat sepenuhnya dibiayai dari sumber dana dalam negeri.

3) Pembangunan yang semakin meningkat dan bertambahnya jumlah penduduk juga akan dihadapkan pada kondisi sumber daya alam yang semakin terbatas, khususnya sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya lahan, air dan hutan serta pola dan tata ruang masih belum sepenuhnya dilaksanakan bersamaan dengan pemeliharaan kelestarian fungsi lingkungan hidup, antara lain, yang berkaitan dengan upaya pelestarian daerah resapan dan daerah penyangga air. Kebutuhan akan energi meningkat pula dengan cepat sehingga menuntut kebijaksanaan yang menyeluruh dan terpadu yang menjamin pemenuhan kebutuhan energi yang memenuhi persyaratan aman, adil dan terjangkau oleh daya beli rakyat.

4) Organisasi kepemudaan makin menghadapi tantangan yang makin besar untuk lebih mampu melaksanakan fungsinya dalam pembangunan secara optimal termasuk pelaksanaan pendidikan politik yang menjangkau kaum pemuda di seluruh tanah air. Sikap dan semangat kepopuleran dan keperintisan serta sikap dan semangat menghargai pahlawan serta wadah pembinaanya masih tingkat perlu ditingkatkan.

5) Dalam pembangunan kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tantangan yang masih harus dihadapi adalah kedalaman pengalaman ajaran dan nilai-nilai agama serta kemantapan kehidupan beragama dalam rangka memperkokoh landasan spritual, moral dan etika bagi pembangunan serta landasan persatuan dan kesatuan bangsa.

6) Kemampuan pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek masih perlu terus ditingkatkan untuk dapat mengimbangi kemajuan dan memenuhi kebutuhan pembangunan yang terus meningkat dan berubah secara cepat dalam rangka menjawab tantangan masa depan.

7) Pembangunan hukum yang menuju terwujudnya sistem hukum nasional perlu sungguh-sungguh diperhatikan untuk menjawab tuntutan masyarakat yang makin meningkat terhadap kepastian dan pengayoman hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran.

8) Pengamalan budaya politik Pancasila, terutama menyangkut etika dan moral politik.

9) Dalam pembangunan daerah masih perlu diberikan perhatian yang lebih besar, khususnya daerah yang terbelakang, daerah yang padat dan daerah yang sangat kurang penduduknya, daerah transmigrasi, daerah terpencil dan daerah perbatasan serta daerah yang memiliki ciri khas seperti daerah tertentu di kawasan timur Indonesia.

Keadaan carut marut yang melanda Indonesia saat ini sangat mungkin bermuara dari adanya krisis moral. Dan semua indikator mengenai kemungkinan hancurnya sebuah bangsa terkait erat dengan masalah karakter dan moral. Setelah lebih dari 50 tahun pembangunan pendidikan nasional yang terlihat hanya kehancuran moral dari perilaku semua lapis usia, tidak perduli remaja atau dewasa.

Ada sepuluh tanda zaman yang harus diwaspadai sehingga pertanda sebuah bangsa menuju jurang kehancuran. Dan kesepuluh tanda zaman bukti bangsa menuju kehancuran sedang melanda Indonesia. Kesepuluh tanda zaman itu adalah:

1) Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja,

2) Penggunaan kata-kata dan bahasa yang memburuk,

3) Pengaruh kesetiaan kelompok remaja yang kuat dalam tindak kekerasan,

4) Meningkatnya perilaku merusak diri seperti narkoba, alkohol dan seks bebas,

5) Semakin rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan bagian dari sebuah bangsa,

6) Semakin kaburnya pedoman moral baik dan moral buruk,

7) Menurunnya etos kerja,

8) Semakin rendahnya rasa hormat kepada guru dan orang tua,

9) Membudayakan ketidakjujuran,

10) Meningkatnya eskalasi saling curiga dan kebencian antar sesama.

Dengan melihat semua tanda-tanda itu telah ada di Indonesia, maka mungkin saja benar bahwa akar permasalahan dari krisis berat yang melanda Indonesia adalah karena permasalahan hancurnya karakter bangsa. Semua kondisi di atas membuktikan bahwa tujuan mendasar pendidikan nasional untuk membuat manusia yang baik dan pintar belum tercapai. Meski harus diakui banyak orang Indonesia yang cerdas secara akademik, tetapi terbelakang secara emosi, sehingga berdampak negatif terhadap kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan. Penyebab lain, selama ini belum ada pendidikan karakter siswa dalam kurikulum pendidikan nasional tetapi yang ada hanya pengajaran pengetahuan karakter yang tertuang dalam mata pelajaran agama dan kewarganegaraan dan Pancasila. Diperparah lagi dengan sistem pengajaran dilakukan dengan sistem penghafalan dan pengukuran kemampuan siswa berdasarkan hasil ujian dengan soal pilihan berganda. Kalaupun selama ini orientasi pendidikan Indonesia hanya memperoleh nilai bagus, maka tidak aneh bila terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku masyarakatnya.

PENUTUP

Pancasila sebagai sumber moral kebangsaan memberikan ciri yang dapat diformulasikan sesuai kewajiban berbuat sesuai dengan semangat persatuan kesatuan bangsa seperti yang diikrarkan dalam sumpah pemuda yaitu satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Norma moral kebangsaan pada hakekatnya adalah Wawasan Nusantara yang merupakan kewajiban berbuat baik untuk mengaplikasikan Wawasan Nusantara dalam kehidupan sehari-hari. Norma moral dan etika kebangsaan bersifat terbuka, dinamis serta fleksibel sesuai dengan tuntutan jaman, namun senantiasa terkait secara ikhlas pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Etika kebangsaan Indonesia adalah pemikiran bangsa Indonesia mengenai moral kebangsaan Indonesia yang merupakan filsafat moral untuk mendalami nilai moral kebangsaan yang menggambarkan integritas bangsa. Etika kebangsaan akan berwujud konkrit dalam kehidupan sehari-hari berupa musyawarah mufakat dalam membuat keputusan. Norma moral etika masyarakat Indonesia adalah kewajiban berbuat sesuai dengan Wawasan Nusantara yang ditampilkan dalam musyawarah mufakat. Moral etika kebangsaan Indonesia merupakan identitas serta integritas bangsa yang menjamin kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Persatuan memperkuat kekuatan suatu bangsa. Karena itulah di negara-negara yang multietnik, persatuan memegang peranan yang penting. Perbedaan etnik sering kali menjadi pemicu timbulnya konflik antar etnik dan konflik itu pada gilirannya akan mengarahkan kepada perpecahan. Kondisi negara yang terpecah-pecah sulit untuk memiliki kekuatan yang besar, karena potensi kekuatan yang ada pada tiap-tiap etnik dimanfaatkan untuk saling menyerang diantara etnik-etnik itu atau golongan-golongan itu. Keinginan hidup bersama dalam keadaan sejahtera adalah cita-cita kemerdekaan yang harus diperjuangkan. Cita-cita ini bisa dicapai dengan didukung keadilan. Kesatuan dan persatuan akan bisa dipertahankan dengan menciptakan pembangunan yang adil untuk semua warga negara, ada keseimbangan antara pusat dan daerah.

IDEOLOGI PANCASILA

udul : PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

PENDAHULUAN

Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi serta terjadinya pergeseran sosial politik dunia telah memacu perkembangan-perkembangan yang bersifat global pada berbagai aspek kehidupan masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia. Perkembangan ini terutama didorong oleh kemajuan yang telah dicapai dibidang teknologi, telekomunikasi dan transportasi selama beberapa dasa warsa terakhir ini yang telah menghasilkan perubahan besar di bidang informasi dan hubungan ekonomi internasional. Pertumbuhan pesat di kedua bidang ini telah membuat kabur batas-batas teritorial antar negara, karena unsur-unsur budaya dan perkembangan yang terjadi di suatu negara terutama di negara-negara maju cenderung meluas dan menembus batas-batas teritorial negara-negara lain. Inilah yang disebut dengan proses globalisasi yang merupakan ciri-ciri utama kehidupan antar bangsa di abad XXI ini.

Berbicara tentang Pancasila sebagai ideologi dalam implementasinya tidak terlepas dari kehidupan politik bangsa itu sendiri, dalam hal ini adalah bagaimana peran dan fungsi Pancasila sebagai landasan dan sekaligus tujuan dalam kehidupan politik bangsa. Dalam proses pembangunan politik sekarang ini persmasalahannya ialah bagaimana mentransformasikan sistem politik yang ada dan berlaku menjadi sistem politik yang bukan hanya mantap tetapi juga sekaligus juga memiliki kualitas kemandirian yang tinggi yang memungkinkan untuk membangun atau mengembangkan diri secara terus menerus sesuai dengan tuntutan perkembangan aspirasi masyarakat dan laju perkembangan jaman. Dengan begitu sistem politik demokrasi Pancasila akan terus berkembang bersamaan dengan perkembangan jatidirinya yang terkandung dalam hakekat ideologi yang mendasari dan menjadi tujuannya. Sejalan dengan itu ideologi Pancasila akan berhasil mempertahankan, memelihara dan bahkan memperkuat relevansinya yang tinggi dalam kehidupan politik bangsa. Nilai-nilainya bukan hanya dihayati dan dibudayakan tetapi sekaligus diamalkan dalam kehidupan polotik bangsa yang terus berkembang.

Ketahanan suatu ideologi dalam menghadapi terpaan perubahan jaman sebagai akibat dari pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan timbulnya perubahan sikap dan pemikiran masyarakat tidak cukup kalau hanya didukung oleh keyakinan para pemimpin yang telah berhasil menggali dan memformulasikan ideologi tersebut dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.

Ditinjau dari dimensi realita, ideologi itu mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam dirinya bersumber dari nilai-nilai riil yang hidup di dalam masyarakatnya, terutama pada saat ideologi tersebut lahir, sehingga mereka betul merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu adalah milik mereka bersama. Dengan demikian nilai-nilai dasar ideologi itu tertanam dan berakar di dalam masyarakatnya. Pancasila mengandung dimensi realita ini dalam dirinya.

PEMBAHASAN

Seperti diketahui bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila bersumber atau digali dari pengalaman dan budaya bangsa, termasuk pengalaman dalam berhubungan dengan bangsa lain. Meskipun bangsa kita bercorak multi dimensional serta beraneka ragam pengalaman para perumus Pancasila dan UUD’45 yang juga memiliki sifat kemajemukan dan keanekaragaman pengalaman itu secara luar biasa berhasil menggali, menemukan dan merumuskan lima nilai dasar yang terkandung dalam masyarakatnya menjadi ideologi bangsa. Sifat kekeluargaan dan kegotongroyongan itu direkat dan dijiwai dengan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rasa kemanusiaan, semangat persatuan, suasana musyawarah mufakat dan rasa keadilan sosial. Itulah lima nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila yang dianggap hakiki dan dirasakan riil dalam kehidupan masyarakat kita, terutama daerah-daerah pedesaan. Dari situ tersimpul apa yang dimaksud dengan dimensi realita dari ideologi Pancasila. Dilihat dari dimensi idealisme, suatu ideologi perlu mendandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melalui idealisme atau cita-cita yang terkandung dalam ideologi yang dihayati oleh masyarakat suatu bangsa mengetahui kearah mana mereka ingin membangun kehidupannya. Idealisme atau cita-cita itu seyogyanya bersisi harapan-harapan yang masuk akal bukan angan-angan yang sama sekali tidak bisa diwujudkan. Oleh karena itu dalam suatu ideologi yang tangguh biasanya terjalin perkaitan yang saling mengisi dan saling memperkuat antara dimensi realita dan dimensi idelasime yang terkandung di dalamnya. Dengan begitu ideologi tersebut akan berhasil menjadikan dirinya sebagai landasan atau dasar (melalui dimensi realita) dan sekaligus tujuan (melalui dimensi idealisme) dalam membangun berbagai bidang kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemahaman dan penghayatan tentang Pancasila itu, yaitu sebagai ideologi yang melandasi dan sekaligus menjadi tujuan kehidupan bersama.

Pemahaman dan penghayatan bangsa yang makin berkembang tentang Pancasila sebagai ideologi terbuka, terutama dalam beberapa waktu belakangan ini jelas menunjukkan keyakinan bangsa kita itu memiliki dinamika internal pula, yang bukan saja memperbolehkan tetapi mengundang dan merangsang bangsa untung mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang relevan. Melalui itu kita yakin bahwa relevansi Ideologi Pancasila akan semakin kuat, jatidirinya akan semakin mantap dan berkembang. Sejalan dengan itu maka kita meyakini bahwa Pancasila mempunyai dimensi ketiga yaitu dimensi fleksibilitas atau dimensi pengembangan yang juga diperlukan oleh suatu ideologi guna memelihara dan memperkuat relevansinya dari waktu ke waktu.

Sifat terbuka dan demokratis dari Pancasila dan UUD 1945 adalah bahwa UUD 1945 benar-benar disusun secara singkat dan supel yang hanya memuat aturan-aturan pokok sebagai kerangka dasar atau landasan dan pengarah bagi pembangunan bangsa dan negara kita. Sedangkan aturan-aturan pokok itu bisa dibuat melalui Undang-Undang atau peraturan lainnya sesuai dengan tuntutan pertumbuhan masyarakat dan negara, tentunya sejauh tidak menyimpang atau bertentangan dengan aturan-aturan pokok tadi.

Makna kedua adalah keinginan para perumus agar UUD 1945 ini tidak lekas usang atau ketinggalan jaman. Generasi-generasi berikutnya dituntut untuk dapat menjaga aktualisasinya sesuai dengan dinamika perkembangan jaman. Itulah yang dimaksud dengan istilah supel atau elastik. UUD 1945 bukanlah dimaksudkan untuk membangun suatu masyarakat dan negara Indonesia yang statis, melainkan yang dinamis dan berkembang terus.

Makna ketiga adalah ketidak inginan mereka memonopoli kebenaran. Mereka menghendaki agar kita tidak bersikap apriori menentang atau menerima sesuatu ide atau pemikiran tanpa diperhitungkan secara matang. Jangan tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk kepada pikiran-pikiran yang masih mudah berubah. Mereka tidak menginginkan kita mengembangkan sikap fanatisme sempit terhadap apa saja, termasuk terhadap Pancasila dan UUD 1945.

Makna keempat adalah bahwa mereka mempercayai generasi-generasi sesudah mereka untuk melanjutkan pengembangan pemikiran sesuai dengan dinamika tuntutan jaman, tetapi masih dalam kerangka dasar yang telah dirumuskan.

Menurut Menteri Sekretaris Negara Moerdiono dalam ceramahnya yang disampaikan pada Penyegaran Penataran Nasional Manggala BP-7 Pusat tanggal 12 Desember 1988 di Jakarta, perwujudan Ideologi Pancasila dibagi menjadi tiga tatanan nilai dalam kehidupan kenegaraan yaitu : Nilai-Nilai Dasar, Nilai-Nilai Instrumental dan Nilai-Nilai Praksis.

Nilai dasar adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat banyak sedikitnya mutlak. Kita menerima nilai dasar sebagai suatu hal yang tidak dipertanyakan lagi. Semangat kekeluargaan dapat disebut sebagai nilai dasar, sifatnya mutlak, dan tidak akan diubah lagi.

Nilai instrumental adalah pelaksanaan umum dari nilai dasar, biasanya dalam wujud norma sosial ataupun norma hukum, yang selanjutnya kristalisasi dalam lembaga-lembaga. Sifatnya dinamis, kontekstual yaitu sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu. Nilai instrumental ini lebih rendah dari nilai dasar, namun tidak kalah pentingnya, karena nilai instrumental inilah yang menjabarkan nilai dasar yang umum itu dalam wujud yang kongkret serta sesuai dengan jamannya.

Nilai praksis adalah nilai yang sesungguhnya dilaksanakan dalam kenyataan. Nilai praksis ini sebaiknya sama semangatnya dengan nilai dasar dan nilai instrumental. Lebih daripada itu nilai praksis inilah yang sesungguhnya akan merupakan batu ujian, apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu sungguh-sungguh hidup dalam masyarakat atau tidak.

Adanya perkembangan-perkembangan baru di berbagai bidang yang terjadi sebagai akibat dari proses globalisasi, industrialisasi serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menimbulkan pertanyaan sampai dimana Ideologi Pancasila mampu mempertahankan relevansinya. Jawaban dari pertanyaan ini adalah sangat penting untuk meyakinkan masyarakat, terutama generasi muda, sebagai subyek utama dalam pembentukan masyarakat industrial yang modern, bahwa Ideologi Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai pemersatu masyarakat dan bangsa Indonesia, tetapi juga mampu membawa masyarakat dan bangsa itu dalam mencapai cita-cita itu untuk mewujudkan tatanan masyarakat adil dan makmur di tengah-tengah perkembangan dunia modern sekarang ini.

Perubahan-perubahan nilai yang dialami oleh masyarakat sebagai akibat dari pengaruh globalisasi dan modernisasi dapat digologkan dalam 4 (empat) kategori sebagai berikut :

a. Perubahan nilai-nilai yang tidak diperlukan dalam pembangunan nasional dalam upayanya untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan bangsa dan disamping itu juga karena bertentangan dengan nilai-nilai budaya Pancasila. Konsumerisme, pergaulan bebas, pemakaian obat-obat terlarang merupakan contoh dari jenis nilai-nilai asing yang demikian itu.

b. Perubahan nilai-nilai yang esensial diperlukan dalam rangka mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan bangsa, tetapi jelas-jelas bertentangan dengan salah satu atau beberapa sila dari Pancasila.

c. Perubahan nilai-nilai yang tidak diperlukan untuk membawa masyarakat dan bangsa ke arah kemakmuran dan kesejahteraan, tetapi tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila. Suatu contoh yang mungkin dapat dikemukakan mengenai jenis ini adalah cara berpakaian yang cenderung mengikuti mode yang berlaku di negara-negara Barat. Demikian pula kegandrungan pada seni musik dan seni tari negara-negara maju.

d. Perubahan nilai-nilai yang secara obyektif diperlukan untuk mendinamisasikan bangsa dan membawanya ke arah tercapainya kesejahteaan yang lebih tinggi dan tidak secara jelas bertentangan dengan salah satu atau beberapa sila dari Pancasila.

Bertolak dari fungsi Pancasila sebagai ideologi pemersatu ini, berarti kita hanya perlu membedakan apakah suatau perubahan nilai atau berkembangannya suatu nilai baru diperkirakan akan menjurus kepada disintegrasi bangsa atau tidak. Disini pemikirannya adalah bahwa setiap nilai kemasyarakatan yang secara jelas melawan atau bertentangan dengan salah satu sila atau lebih dari Pancasila akan menjurus kepada disintegrasi bangsa. Dan nilai-nilai yang demikian itu sajalah yang perlu ditolak.

Meningkatnya kesadaran politik masyarakat, partisipasi politik yang lebih aktif serta semakin membudayanya keterbukaan politik merupakan nilai-nilai baru yang berkembang dalam masyarakat sebagai pengaruh globalisasi dan sebagai hasil dari pembangunan yang dilaksanakan. Tidak satupun dari nilai-nilai baru ini yang dapat dianggab sebagai suatu yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila, bahkan pada umumnya perubahan nilai-nilai tersebut berarti tidak lebih mendekatkan kita kepada cita-cita kehidupan politik yang terkandung di dalam Ideologi Pancasila. Proses perubahan ini antara lain membawa dan mengembangkan aspirasi-aspirasi baru dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan bersama. Jelasnya, suksesnya transformasi itu antara lain membutuhkan pengembangan suasana keterbukaan atau kehidupan kualitas demokrasi dalam kehidupan masyarakat.

Keterbukaan di Bidang Ekonomi, Sistem ekonomi pasar, menonjolnya peranan sektor swasta dan kebijaksanaan outword-looking, merupakan nilai-nilai yang menjadi tiang dari perekonomian kita dalam rangka globalisasi ekonomi. Menurut kriteria disintegrasi, tidak ada nilai-nilai tersebut yang harus ditolak, karena nilai-nilai tersebut tidak dengan sendirinya akan menjurus pada disintegrasi bangsa. Akan tetapi perlu diingat, sistem ekonomi pasar apabila tidak dilaksanakan sesuai dengan konsepnya yang murni dapat memperlebar kesenjangan ekonomi yang pada gilirannya menjurus kepada disintegrasi bangsa. Hal ini akan terjadi apabila sistem tersebut dihinggapi oleh berbagai distorsi, seperti diskriminasi, monopoli, oligopoli, kolusi dan sebagainya. Oleh karena itu nilai-nilai tersebut perlu dilengkapi dengan nilai-nilai instrumental yang ditujukan untuk mencegah dan semakin mengurangi terjadinya distorsi yang dimaksud.

Keterbukaan di Bidang Sosial Budaya, Perubahan nilai-nilai di bidang sosial budaya berjalan lebih cepat dan lebih meluas, memerlukan penilaian lebih tajam dari segi dampaknya terhadap usaha peningkatan kesejahteraan dan proses integrasi bangsa. Banyak dari nilai-nilai baru yang timbul sebagai pengaruh globalisasi dan kemajuan pembangunan mempunyai dampak yang positif terhadap kedua aspek tersebut. Termasuk ke dalam golongan ini antara lain etos kerja yang lebih tinggi, semangat persaingan ke arah peningkatan efisiensi usaha, kewiraswastaan, penentuan status sosial menurut prestasi kerja, pembagian kesempatan menurut kemampuan dan banyak lagi. Sebaliknya nilai-nilai seperti konsumerisme, homoseksualitas, seni kekerasan dan sebangsanya mempunyai dampak negatif baik terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat maupun terhadap integritas bangsa. Nilai-nilai asing yang bersifat disintegratif tersebut sejauh mungkin harus dicegah perkembangannya dalam masyarakat kita.

Keterbukaan di Bidang Hankam, Gangguan keamanan dalam negeri diperkirakan masih akan terjadi yang datang dari gerakan Aceh, Papua, Maluku dan kemungkinan gerakan dari ekstrim kiri, ekstrim kanan serta ekstrim lainnya. Disamping masalah SARA, perburuhan, pertanahan dan masalah Kamtibmas tetap harus diwaspadai.

Berbagai esensi masalah tersebut dapat dilihat dari gerakan separatis dan masalah SARA. Dalam menangani masalah GPK perlu dilakukan dengan berhati-hati, agar tidak memberi peluang yang menimbulkan kecaman dari pihak luar. Oleh sebab itu didalam pengamanannya harus lebih obyektif dan transparan, dalam kasus jatuhnya korban manusia atau hilang hendaknya dapat didukung dengan argumentasi yang lengkap dan jelas, agar tidak menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat maupun dunia internasional.

Sebagai bangsa yang majemuk, selalu ada kemungkinan terjadinya gangguan keamanan berlatar belakang masalah SARA. Perlakuan tidak adil, kesenjangan, kemiskinan kelompok masyarakat ataupun daerah merupakan unsur-unsur penyebab timbulnya masalah SARA. Disamping kesewenangan-wenangan kelompok mayoritas atau yang kuat dalam masyarakat terhadap kelompok minoritas lainnya, intoleransi dalam kehidupan beragama, dapat menjadi faktor besar penyebab disintegrasi bangsa, sehingga sangat perlu untuk selalu diwaspadai dan dihindari.

PENUTUP

Terjadinya perubahan yang semakin cepat dalam pemikiran dan nilai-nilai sosial, sebagai akibat dari globalisasi dan kemajuan teknologi, menimbulkan tanda tanya mengenai kemampuan Ideologi Pancasila untuk mempertahankan relevansinya sebagai landasan kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Ideologi Pancasila disamping memiliki keunggulan komperatif serta nilai-nilai yang berakar kuat dalam kehidupan sosio-kultural tradisional ini, Ideologi Pancasila juga mempunyai watak terbuka dan kenyal yang mampu membuat dirinya selalu relevan dengan realita kehidupan yang selalu berubah mengikuti kemajuan jaman.

Watak terbuka dari Ideologi Pancasila pertama-tama terbukti dari perwujudannya yang hanya mengemukakan aturan-aturan pokok saja. Aturan-aturan pokok tersebut memuat nilai-nilai dasar yang bersifat tetap, sedangkan penjelasannya ke dalam kehidupan nyata dilakukan melalui nilai-nilai instrumental dan praksis. Nilai-nilai tersebut dibentuk dengan tujuan mengarahkan perkembangan kehidupan masyarakat kepada cita-cita yang terkandung dalam nilai-nilai dasar.

Nilai-nilai instrumental tersebut harus selalu disesuaikan dengan perkembangan pemikiran dan kenyataan yang berkembang di dalam masyarakat setiap waktu. Oleh karena itu keutuhan, perubahan dan penyesuaiannya diserahkan kepada penyelenggara negara dan diwujudkan dalam bentuk wawasan, doktrin, strategi, kebijaksanaan dan hukum nasional. Perumusannya dapat dimuat dalam GBHN, UU, PP dan sebagainya tetapi dapat juga berupa kesepakatan-kesepakatan yang tidak tertulis atau berbagai bentuk kelembagaan.

Dalam menghadapi perubahan-perubahan pemikiran dan nilai-nilai sosial di berbagai bidang yang timbul dari proses globalisasi dan sebagai hasil pembangunan nasional, nilai-nilai Instrumental Pancasila berperan sebagai wahana untuk menolak, menangkal atau meluruskan perkembangan nilai-nilai yang bertentangan dengan Ideologi Pancasila dan mendorong perkembangan nilai-nilai yang diperlukan bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa.

Bilamana didalam suatu nilai terdapat dikotomi yang tidak dapat dihindarkan, maka harus dicari titik keseimbangan menurut masing-masing situasi. Titik keseimbangan ini ditentukan melalui kesepakatan yang dicapai melalui demokrasi Pancasila. Akan tetapi sebagai pedoman umum (sementara) pemutusan sikap mengenai nilai-nilai baru yang berkembang di dalam masyarakat dapat didasarkan pada dampaknya terhadap integrasi nasional. Perkembangan nilai-nilai baru yang menjurus pada disintegrasi nasional harus ditolak, sedangkan yang memperkuat integrasi nasional harus didorong.

KEAMANAN INTERNASIONAL

ANALISA TERHADAP PERAN DEWAN KEAMANAN PBB

DALAM MEMELIHARA PERDAMAIAN DAN
KEAMANAN INTERNASIONAL


BY. Suhara Golan Sidabutar


Pendahuluan
Dewan Keamanan PBB bertanggung jawab terhadap usaha pemeliharaan perdamaian dan keamanan dunia. Dewan ini merupakan badan PBB yang paling berkuasa karena dapat mengambil keputusan yang mengikat semua anggota PBB untuk mematuhi dan melaksanakannya. Dewan Keamanan dipimpin oleh seorang ketua yang dijabat secara bergilir sebulan sekali oleh anggota Dewan Keamanan berdasarkan urutan abjad nama awal negara anggotanya. Dewan keamananlah yang bisa mengenakan sanksi atau tindakan militer terhadap suatu negara.[1]

Dewan Keamanan ini terdiri dari 15 (limabelas) negara anggota, 5 (lima) diantaranya adalah anggota tetap yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, dan China. Anggota tetap ini mempunyai hak untuk memveto putusan yang akan diambil oleh Dewan Keamanan dengan cara menolak dan melawan putusan tersebut. Sebagai kunci dalam menciptakan perdamaian dan keamanan dunia, Dewan Keamanan mempunyai beberapa fungsi utama. Dewan Keamanan ini membantu untuk menyelesaikan sengketa secara damai, membentuk dan mengatur pasukan penjaga keamanan PBB, dan mengambil langkah-langkah khusus terhadap negara atau pihak-pihak yang tidak patuh terhadap keputusan DK PBB.

Walaupun Dewan Keamanan telah melakukan upaya yang sangat baik dalam menjalankan fungsinya, tetapi pada kenyataannya masih terdapat berbagai permasalahan yang telah menyebabkan ketidakefektifan dari fungsi Dewan Keamanan PBB tersebut. Keamanan dan perdamaian dunia belum dapat diciptakan dan dipelihara. Konflik masih terjadi di berbagai daerah di belahan dunia. Pemegang hak veto dari negara anggota tetap mempunyai kekuatan untuk membendung setiap keputusan yang akan berdampak merugikan bagi kepentingan mereka ataupun sekutunya masing-masing, ataupun contoh lainnya bahwa keputusan yang telah diambil, biasanya hanya menjadi “lip service” bagi pengimplementasian berikutnya.

Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia sekarang ini adalah Dewan Keamanan yang dapat melihat permasalahan sejak dini, Dewan yang dapat menghalangi dan mencegah terjadinya serangan antara negara-negara, serta Dewan yang mampu menjadi perantara dalam melaksanakan penyelesaian konflik.

Berangkat dari uraian di atas, makalah akan menganalisa peran dari Dewan Keamanan PBB dalam menciptakan dan memelihara keamanan dan perdamaian internasional, apa yang sudah berhasil dan sedang dikerjakan oleh PBB dan apa yang belum dan seharusnya dilakukan demi terciptanya keamanan Internasional serta faktor-faktor yang mempengaruhi PBB sehingga belum dapat menciptakan keamanan dan perdamaian internasional.


Pasukan Pemelihara Perdamaian (PPP)

Tujuan utama Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) adalah menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Tujuan ini dicapai dengan cara-cara damai melalui upaya untuk mencegah dan meniadakan ancaman terhadap perdamaian. Di samping itu, untuk mencapai tujuannya, PBB juga melakukan tekanan terhadap negara agresor atau negara pelanggar perdamaian. Berdasarkan prinsip peradilan dan hukum internasional, PBB senantiasa berupaya menyelesaikan perselisihan antarnegara dengan mengutamakan jalan damai.[2]

Pemelihara perdamaian, menurut definisi PBB, adalah "cara untuk menolong negara-negara yang tercabik-cabik konflik untuk menciptakan kondisi perdamaian yang dapat dipertahankan."[3]

Piagam PBB memberikan kepada Dewan Keamanan PBB kekuasaan dan tanggung jawab untuk mengambil tindakan bersama untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Karena alasan ini, komunitas internasional biasanya berpaling kepada Dewan Keamanan untuk memberikan otorisasi untuk operasi pemeliharaan perdamaian, dan semua misi Pemeliharaan Perdamaian PBB harus memperoleh otorisasi dari Dewan Keamanan. Kebanyakan dari operasi-operasi ini dibentuk dan diimplementasikan oleh PBB sendiri dengan pasukan-pasukan yang melayani di bawah komando operasional PBB. Dalam hal ini, para anggota pasukan pemelihara perdamaian tetap menjadi anggota masing-masing angkatan bersenjata mereka, dan tidak membentuk suatu “Pasukan PBB” yang independent, karena PBB tidak mempunyai pasukan seperti itu.

Jika Dewan Keamanan gagal melaksanakan tugas pokoknya karena tidak adanya kesepakatan di atara para anggota tetap, maka berdasarkan resolusi tentang penyatuan untuk Perdamaian yang ditandatangani tanggal 3 November 1950, Majelis Umum harus segera membuat rekomendasi kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan gabungan untuk mempertahankan atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Dalam rekomendasi ini termasuk pengertian penggunaan kekuatan bersenjata untuk mengatasi agresi atau jenis pelanggaran lain. [4]

Dalam upayanya menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, PBB memiliki empat kelompok tindakan, yang saling berkaitan satu sama lain dan dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan dari semua anggota PBB agar dapat terwujud. Keempat kelompok tindakan itu adalah sebagai berikut:[5]

1. Preventive Diplomacy

Preventive Diplomacy adalah suatu tindakan untuk mencegah timbulnya suatu sengketa di antara para pihak, mencegah meluasnya suatu sengketa, atau membatasi perluasan suatu sengketa. Cara ini dapat dilakukan oleh Sekjen PBB, Dewan Keamanan, Majelis Umum, atau oleh organisasi–organisasi regional berkerjasama dengan PBB.

2. Peace Making

Peace Making adalah tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa untuk saling sepakat, khususnya melalui cara–cara damai seperti yang terdapat dalam Bab VI Piagam PBB. Tujuan PBB dalam hal ini berada diantara tugas mencegah konflik dan menjaga perdamaian. Di antara dua tugas ini terdapat kewajiban untuk mencoba membawa para pihak yang bersengketa menuju kesepakatan dengan cara–cara damai. [6]


3. Peace Keeping

Peace Keeping adalah tindakan untuk mengerahkan kehadiran PBB dalam pemeliharaan perdamaian dengan kesepakatan para pihak yang berkepentingan. Biasanya PBB mengirimkan personel militer, polisi PBB dan juga personel sipil. Meskipun sifatnya militer, namun mereka bukan angkatan perang. Cara ini adalah suatu teknik yang ditempuh untuk mencegah konflik maupun untuk menciptakan perdamaian. Peace Keeping merupakan “penemuan” PBB sejak pertama kali dibentuk, Peace Keeping telah menciptakan stabilitas yang berarti di wilayah konflik. Sejak 1945 hingga 1992, PBB telah membentuk 26 kali operasi Peace Keeping. Sampai Januari 1992 tersebut, PBB telah menggelar 528.000 personel militer, polisi dan sipil. Mereka telah mengabdikan hidupnya dibawah bendera PBB. Sekitar 800 dari jumlah tersebut yang berasal dari 43 negara telah gugur dalam melaksanakan tugasnya.

4. Peace Building

Peace Building adalah tindakan untuk mengidentifikasi dan mendukung struktur–struktur guna memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu konflik yang telah didamaikan berubah kembali menjadi konflik. Peace Building lahir setelah berlangsungnya konflik. Cara ini bisa berupa proyek kerjasama konkret yang menghubungkan dua atau lebih negara yang menguntungkan diantara mereka. Hal demikian tidak hanya memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi dan sosial, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan yang merupakan syarat fundamental bagi perdamaian.

5. Peace Enforcement

Disamping keempat hal tersebut, sarjana Amerika Latin, Eduardo Jimenez De Arechaga, memperkenalkan istilah lain yaitu Peace Enforcement (Penegakan Perdamaian). Yang dimaksud dengan istilah ini adalah wewenang Dewan Keamanan berdasarkan Piagam untuk menentukan adanya suatu tindakan yang merupakan ancaman terhadap perdamaian atau adanya tindakan agresi. Dalam menghadapi situasi ini, berdasarkan Pasal 41 (Bab VII), Dewan berwenang memutuskan penerapan sanksi ekonomi, politik atau militer. Bab VII yang membawahi Pasal 41 Piagam ini dikenal juga sebagai “gigi”-nya PBB (the “teeth” of the United Nations). [7]

Contoh dan penerapan sanksi ini, yaitu Putusan Dewan Keamanan tanggal 4 November 1977. putusan tersebut mengenakan embargo senjata terhadap Afrika Selatan berdasarkan Bab VII Piagam PBB sehubungan dengan kebijakan Negara tersebut menduduki Namibia. Termuat dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB yang menyatakan bahwa para pihak yang bersengketa shall, first of all, seek a resolution by negotiation…,” tersirat bahwa penyelesaian sengketa kepada organ atau badan PBB hanyalah “cadangan”, bukan cara utama dalam menyelesaikan suatu sengketa. Namun demikian, ketentuan tersebut tidak ditafsirkan manakala sengketa lahir.

Organ-organ utama PBB bedasarkan Bab III (Pasal 7 ayat (1)) Piagam PBB terdiri dari Majelis Umum, Dewan Keamanan, ECOSOC, Dewan Peralihan, Mahkamah Internasional dan Sekretariat. Organ-organ ini berperan penting dalam melaksanakan tugas dan fungsi PBB. Terutama dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional, sesuai dengan kaedah keadilan dan prinsip hukum internasional. [8]

Penilaian Terhadap Balans PBB

Penilaian orang terhadap PBB bermacam-macam. Penilaian itu tidak lagi didasarkan semata-mata atas maksud dan tujuan PBB seperti yang tertera pada piagamnya, tetapi penilaian itu banyak bercampur dengan praktek pelaksanaan piagam PBB dalam aplikasinya. ”Promise” Piagam PBB diuji dan dikaji oleh ”performace” nya. Janji dan cita-cita diuji dan dikaji oleh kesanggupan dan praktek pelaksanaan. [9]

Dewasa ini banyak yang mengibaratkan PBB itu sebagai ”mirror”, yaitu cermin dari dunia internasional. Begitu dunia internasional, begitu juga PBB. Ada pula yang mengibaratkan PBB sebagai suatu ”spons”, yaitu suatu penyedot air. Laksana air masuk ke dalam spons, yang kemudian dikeluarkan lagi sebagai air oleh spons itu, maka demikianlah diibaratkan setiap pembicaraan situasi internasional ke dalam forum PBB. Ada pihak lain yang mengibaratkan PBB sebagai ”prisma”, yaitu semacam cermin segitiga. Setiap sinar terang yang masuk ke dalam prisma tidak dikembalikan begitu saja seperti kalau masuk ke dalam cermin biasa, tetapi dikembalikan dengan secara ”distorted a little”, secara berbelok dan berubah sedikit. Malahan menjadi bercorak, sesuai dengan hukum Newton tentang sinar yang masuk dalam prisma. Belokan dan perubahan sinar itu ada yang membaik, ada juga yang memburuk. Dengan kata lain : setiap situasi internasional, kalau masuk kedalam forum PBB mengalami sorotan pandangan yang sedikit berbeda dari situasinya itu sendiri dan keluarnya pun agak berbeda pula. [10]

Disamping pengibaratan dan penilaian tersebut di atas tentang PBB, yang ditinjau dari segi yuridis legal dan politis, maka ada pula yang meninjaunya dari sudut ”filosophis-culturil”. Satu diantaranya ialah berasal dari seorang bekas – pegawai Sekretariat, berbangsa Irlandia dan bernama Connor Cruise O’Brien, yang pada tahun 1961 meninggalkan PBB. Berlandaskan apa yang ia lihat dari belakang layar Sekretariat PBB, maka beliau menamakan PBB sebagai suatu drama kramat, suatu ”sacred drama”, dimana pemain-pemainnya (yaitu para delegasinya) setiap kali menjalankan semacam ”ritual”, semacam ”upacara kramat”, yang mirip dengan tiap upacara drama dan yang mengandung didalamnya dua pencerminan alam kejiwaan, yaitu ”fear and prayer”, ketakutan dan pemujaan. Di dalam ”drama keramat” ini dimana gedung Majelis Umum merupakan ”stage set for a continuous dramatization of world history” (panggung untuk secara continue mendramatisir sejarah dunia), maka sebenarnya PBB tidak pernah “act” (bertindak), melainkan selalu “acting”, yaitu “main sandiwara”. PBB sebagai tempat ”sacred drama” demikian selalu memerlukan ”play acting, symbolism and ritual”).[11]

Apabila kita melihat berbagai masalah yang dirundingkan dalam forum PBB, maka semua gambaran di atas perlu kita renungkan sebentar, tanpa terseret pada pandangan yang terlalu muluk-muluk, yaitu “the dreamer’s view” (pandangan seorang yang mimpi), atau tersirat dalam pandangan yang “sinis”, yaitu pandangan yang negative bercampur putus harapan. Pandangan yang terbaik adalah pandangan yang realistis, yaitu suatu pandangan yang berdaya melihat segi-segi positipnya dari PBB sambil mengakui kelemahan-kelemahannya dan fakta-fakta penghambatnya, disertai dengan ikhtiar untuk membantu mengatasi penghambat-penghambat tersebut. [12]

PBB sejak lahirnya hingga sekarang ini dapat berfungsi sebagai suatu alat politik internasional untuk menghindarkan atau memperkecil kemungkinan timbulnya perang global. Kenyataan ini dapat dicatat sebagai salah satu hal yang positif dalam balansnya PBB. Kebalikannya ialah bahwa tak berdayanya PBB untuk mencegah timbulnya ”local” wars seperti di Vietnam dan Timur Tengah merupakan hal yang negatif dalam balansnya PBB. Hal-hal positif dalam balansnya PBB akibat daripada kesadaran dan kesediaan pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan jalan ”negotiated settlements”, yaitu penyelesaian melalui perundingan, di bawah pengayomannya PBB.

Sebagai contoh yang menonjol dalam usaha ini ialah penyelesaian melalui perundingan atau ”negotiated settlement” mengenai pertikaian Indonesia-Belanda (1947-1949), Kashmir (1948), Timur Tengah (1947-1949), dan Irian Barat (1962-1969). PBB juga berhasil untuk bertindak sebagai ”polisi” dengan dibentuknya ”peace-keeping forces” untuk Congo (1960) dan Cyprus (1964), Timur Tengah (1965).

Apabila dilihat bahwa produksi persenjataan dan alat-alat militer oleh negara-negara yang dapat memperkembangkan suatu military industrial compleks makin tahun makin bertambah, penimbunan persenjataan nuklir oleh negara-negara nuklir makin tahun makin meningkat, perdagangan persenjataan konvensional dari negara-negara yang industri perangnya sudah maju ke negara-negara yang belum maju makin menaik, maka sebenarnya dibidang perlucutan persenjataan ini PBB mengalami suatu kemacetan yang serius, bahkan boleh dikatakan suatu kegagalan. [13]

Kegagalan PBB Menyelesaikan Konflik

Kegagalan PBB mencegah pecahnya perang Irak, menyusul invasi AS dan sekutunya ke Irak pada tahun 2003. Program yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB pada tahun 1995 itu memungkinkan Irak menjual minyaknya kepada dunia untuk ditukar dengan makanan, obat-obatan dan kebutuhan lainnya yang diperlukan rakyat Irak yang mengalami dampak sanksi ekonomi setelah Irak menyerang Kuwait. [14]


Konflik di kawasan Afrika, Timur Tengah, serta peningkatan peran organisasi kawasan dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Adanya sejumlah situasi konflik di Afrika, yaitu antara Eritrea dan Ethiopia, konflik di Darfur, Somalia, Republik Demokratik Kongo serta Sierra Leone. Kawasan Afrika selama ini memang mendominasi pembahasan di Dewan Keamaman, sekitar 75% masalah yang dibahas oleh DK-PBB adalah menyangkut situasi di Afrika.

Konflik dan situasi di Timur Tengah, menyangkut Resolusi 1701 tentang konflik di Lebanon serta konflik yang berlarut-larut antara Israel dan Palestina. Dengan melihat kondisi konflik di atas, maka perlu adanya kajian apakah Dewan Keamanan selama ini dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional telah benar-benar memanfaatkan kemampuan yang ada di berbagai kawasan dunia.[15] Atau mungkinkah negara-negara pemegang hak veto dari negara tetap akan membendung setiap keputusan apabila tidak berpihak kepada negara dan sekutunya?

Aksi-aksi terorisme telah mengubah wajah dunia. Peta konflik dunia tak lagi berkutat pada perang antar-negara atau antar-kawasan, tetapi juga perang terhadap kelompok yang tidak mengenal spesifikasi teritorial. Sebagai sebuah jaringan, kelompok teroris ada dimana-mana, bahkan di jantung Amerika atau Inggris sekalipun. Terkuaknya rencana peledakan pesawat untuk penerbangan Trans Antlantik di Bandara Heatrow, London, membuktikan bahwa para teroris tetap tak mau menyurutkan rencana-rencana mereka mengacaukan kepentingan Amerika dan sekutunya. Sekarang menjadi momen penting bagi warga dunia (terutama pemerintah-pemerintahnya) untuk bersama-sama memerangi “hantu” terorisme yang telah merusak kepentingan-kepentingan kemanusiaan. [16]

Penutup

Pengamatan terhadap kecenderungan penugasan operasi PPP PBB akhir-akhir ini menunjukkan perlunya suatu pengkajian yang mendalam mengenai perubahan kebijaksanaan PBB yang berkaitan dengan upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan dunia. Kecenderungan tersebut memperlihatkan persengketaan antarnegara dan intranegara terus meningkat. Ini berarti keperluan dunia akan PPP PBB juga akan meningkat.

Secara khusus, kasus Bosnia-Hercegovina mengadung pertentangan pendapat yang tajam di antara anggota PBB mengenai peranan yang dimainkan PBB. Banyak negara yang menuding Amerika Serikat menerapkan standar ganda dalam aksi-aksi pemeliharaan perdamaiannya. Sudah banyak negara yang menuduh Amerika Serikat yang selalu ingin menjadi polisi dunia sesungguhnya cuma ingin menjadi polisi dunia apabila kepentingan nasionalnya terusik. Kalau kepentingan negara lain atau kepentingan regional di luar Amerika Serikat terganggu, maka negara adikuasa itu tidak akan melalukan suatu tindakan nyata.

Selain itu, kasus Bosnia-Hercegovina juga mengundang pendapat-pendapat baru dari para negarawan. Beberapa negara menghendaki PBB segera mengambil langkah tegas untuk menghentikan penyerbuan Serbia ke arah daerah-daerah aman yang telah ditetapkan oleh PBB. Negara-negara ini menghendaki penghapusan peran PBB sebagai pemelihara perdamaian. Mereka menuntut perwujudan peran PBB yang dinamis sehingga dunia bisa melihat hasil nyata yang telah dilakukan oleh PBB. [17]

Semakin banyak negara menuntut PBB untuk bersikap sepenuhnya netral dalam penyelesaian persengketaan. Tuntutan ini muncul karena mereka selama ini mengamati PBB (yang dipengaruhi negara-negara besar) pada kenyataannya cenderung untuk mendukung salah satu pihak yang bersengketa.[18]


Referensi

Unated Nations, The Unated Nations At Forty, A Foundation to Build On, New York, 1985.

Dr. H. Roeslan Abdulgani, 25 Tahun Indonesia-PBB, Penerbit PT. Gunung Agung, Jakarta, 1972.

ABRI dan PBB, Departemen Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia, Jakarta, 1995.

Makarim Wibisono, Tantangan Diplomasi Multilateral, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006.




[1] ABRI dan PBB, Departemen Pertahanan Keamanan Republik Indonesia, Jakarta, 1995.

[2] ABRI dan PBB, Departemen Pertahanan Keamanan Republik Indonesia, 1995, Jakarta

[3] J.G. Merrills, International Disputes Settlement, Cambrige: CambrigeU.P., 2nd ed., 1995,hlm.179

[4] ABRI dan PBB, Rakan Offset, Jakarta, Departemen Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia, Jakarta, hal 74

[5] Boutros Boutros-Ghali, An Agenda for Peace, New York: United Nations,1992,hlm.12

[6] Eduardo Jimenez De Arechaga, United Nations Security Council, Encylopedia of Public International Law, Instalment 5 1983, hlm.346

[7] Thomas M. Franck and Faiza Patel, UN Police Action in Lieu of War: The Order Chapters,85:1 AJIL,65 (1991)

[8] Huala Adolf, SH.,LL.M., Ph.D, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Sinar Grafika. Jakarta

[9] 25 Tahun Indonesia – PBB, Dr. H. Roeslan Abdulgani, Penerbit PT. Gunung Agung – Jakarta 1972.

[10] Lincoln P. Bloodmfield : The U. N. At twenty and after Headline Series No. 173, October 1965.

[11] Connor Cruise O’Brien : UN the sacred Drama tahun 1968, hal. 9.

[12] Maurice Waters dalam : The UN, International Organization and Administration, tahun 1967, Preface.

[13] 25 Tahun Indonesia – PBB, Dr. H. Roeslan Abdulgani, Penerbit PT. Gunung Agung – Jakarta, 1972.

[14] http://portal.antara.co.id/arc/2006/12/20/kofi_annan_ratapi_kegagalan_pbb_ henti kan_perang_irak/

[15] http://www.kapanlagi.com/h/0000197425.html

[16] http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A3660_0_3_0_M

[17] ABRI dan PBB, Departemen Pertahanan dan keamanan Republik Indonesia Jakarta, 1995, Rekan Offset Jakarta.